
Jangan lupa pada kebutuhan dasar anak yang paling utama, yaitu keinginan untuk dicintai dan dilindungi. Mungkin kita sering merasa telah memberikan seluruh cinta kita kepada anak, berusaha adil, secara kualitas maupun kuantitas? Menurut siapa? Tentu saja hanya menurut orang tua. Karena jarang sekali orang tua yang mau membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak dan apa yang difikirkan anak.
Dahulu aku pernah berdebat dengan saudaraku yang tak pernah berhenti merasa bersalah kepada anaknya yang kedua. Dahulu, sebelum kelahiran anak pertama, ekonominya sangat bagus. Pakaian, perhiasan, makanan, semua ada. Sejak kelahiran putri kedua, ekonominya jatuh sangat dalam. Mati-matian dia berusaha membelikan apa yang dahulu d
iterima sang kakak. Terlalu memaksa menurutku, karena dia merasa itulah yang patut dia berikan pada anak keduanya sebagaimana dia memberikan pada anak pertamanya dahulu ketika seusianya. Dan apakah dia memberikan yang sama pada sang kakak? Tidak sama. Dan apa yang terjadi? Pertengkaran demi pertengkaran antara kakak beradik yang seakan tak pernah berujung kecuali perceraian. Ya, solusi terakhir, sang kakak ikut aku, dan sang adek tetap bersama orang tuanya. Sungguh ironis karena sering tanpa sadar kita orang tualah yang mengenalkan rasa cemburu dan iri pada anak. Dua sifat yang terbukti menghancurkan umat manusia.
Rasa cemburu dan iri sangat mudah muncul, bagaimanapun usaha kita mencegahnya. Seperti yang aku alami. Banyak hal dapat aku perkirakan dan cegah, namun tetap saja ada yang lolos. Contohnya adalah keinginan Destin mengompol ketika melihat adeknya mengompol. Banyak hal negatif baru yang dilakukan Destin karena dia memprotes hak istimewa adeknya. Mengompol, menggigit jari, digendong, tidur ditemani sambil ditepuk-tepuk/dielus-elus. Hal-hal sepele yang luput dari perkiraanku. Sungguh sulit menjelaskan hak istimewa bayi ini pada Destin yang kritis. Banyak sekali bantahan dan penyangkalan yang Destin lontarkan. Berjam-jam diskusi dan kompromi. Akhirnya aku menerima saja kebiasaan baru Destin yang unik itu sebagai bagian dari proses pembelajaran baginya sambil terus berusaha mengurangi kebiasaan itu. Yah, tak ada kakak yang sempurna.
Memiliki adek terbukti menjadi hadiah terindah bagi destin. Tak terkira rasa bangganya memiliki adek. Tak henti-hentinya peluk cium tulus dia berikan untuk adeknya. Namun apakah semua itu cukup? Tidak.Dahulu aku pernah berdebat dengan saudaraku yang tak pernah berhenti merasa bersalah kepada anaknya yang kedua. Dahulu, sebelum kelahiran anak pertama, ekonominya sangat bagus. Pakaian, perhiasan, makanan, semua ada. Sejak kelahiran putri kedua, ekonominya jatuh sangat dalam. Mati-matian dia berusaha membelikan apa yang dahulu d

Rasa cemburu dan iri sangat mudah muncul, bagaimanapun usaha kita mencegahnya. Seperti yang aku alami. Banyak hal dapat aku perkirakan dan cegah, namun tetap saja ada yang lolos. Contohnya adalah keinginan Destin mengompol ketika melihat adeknya mengompol. Banyak hal negatif baru yang dilakukan Destin karena dia memprotes hak istimewa adeknya. Mengompol, menggigit jari, digendong, tidur ditemani sambil ditepuk-tepuk/dielus-elus. Hal-hal sepele yang luput dari perkiraanku. Sungguh sulit menjelaskan hak istimewa bayi ini pada Destin yang kritis. Banyak sekali bantahan dan penyangkalan yang Destin lontarkan. Berjam-jam diskusi dan kompromi. Akhirnya aku menerima saja kebiasaan baru Destin yang unik itu sebagai bagian dari proses pembelajaran baginya sambil terus berusaha mengurangi kebiasaan itu. Yah, tak ada kakak yang sempurna.
Jangan lupa pada kebutuhan dasar anak yang paling utama, yaitu keinginan untuk dicintai dan dilindungi. Mungkin kita sering merasa telah memberikan seluruh cinta kita kepada anak, berusaha adil, secara kualitas maupun kuantitas? Menurut siapa? Tentu saja hanya menurut orang tua. Karena jarang sekali orang tua yang mau membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak dan apa yang difikirkan anak.
Dahulu aku pernah berdebat dengan saudaraku yang tak pernah berhenti merasa bersalah kepada anaknya yang kedua. Dahulu, sebelum kelahiran anak pertama, ekonominya sangat bagus. Pakaian, perhiasan, makanan, semua ada. Sejak kelahiran putri kedua, ekonominya jatuh sangat dalam. Mati-matian dia berusaha membelikan apa yang dahulu diterima sang kakak. Terlalu memaksa menurutku, karena dia merasa itulah yang patut dia berikan pada anak keduanya sebagaimana dia memberikan pada anak pertamanya dahulu ketika seusianya. Dan apakah dia memberikan yang sama pada sang kakak? Tidak sama. Dan apa yang terjadi? Pertengkaran demi pertengkaran antara kakak beradik yang seakan tak pernah berujung kecuali perceraian. Ya, solusi terakhir, sang kakak ikut aku, dan sang adek tetap bersama orang tuanya. Sungguh ironis karena sering tanpa sadar kita orang tualah yang mengenalkan rasa cemburu dan iri pada anak. Dua sifat yang terbukti menghancurkan umat manusia.
Rasa cemburu dan iri sangat mudah muncul, bagaimanapun usaha kita mencegahnya. Seperti yang aku alami. Banyak hal dapat aku perkirakan dan cegah, namun tetap saja ada yang lolos. Contohnya adalah keinginan Destin mengompol ketika melihat adeknya mengompol. Banyak hal negatif baru yang dilakukan Destin karena dia memprotes hak istimewa adeknya. Mengompol, menggigit jari, digendong, tidur ditemani sambil ditepuk-tepuk/dielus-elus. Hal-hal sepele yang luput dari perkiraanku. Sungguh sulit menjelaskan hak istimewa bayi ini pada Destin yang kritis. Banyak sekali bantahan dan penyangkalan yang Destin lontarkan. Berjam-jam diskusi dan kompromi. Akhirnya aku menerima saja kebiasaan baru Destin yang unik itu sebagai bagian dari proses pembelajaran baginya sambil terus berusaha mengurangi kebiasaan itu. Yah, tak ada kakak yang sempurna.
1 comments:
setuju mbak, memberikan kasih sayang yg cukup itu jauh lebih penting ketimbang materi..
Post a Comment